A.
Pengantar
DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah sebuah proses
mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara suka
rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan menurut Gemmil dan Oakley (1992)
kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama antara anggota organisasi dalam
merumuskan metode baru untuk meningkatkan kualitas organisasi. Fulan (2000,
hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a process of persuasion or example
by which an individual (or leadership team) induce the group to pursue
objectives shared by the leaders and his or her followers”. Fulan
berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota
organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin
dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa kepemimpinan bukan hanya
didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai
sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.
KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN
Istilah kepemimpinan dan manajemen
seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989), tapi para ahli ilmu kepemimpinan
masih mengalami kesulitan membedakan kedua istilah tersebut. Fairholm (1991)
menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut sering dianggap sama, istilah
kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada istilah manejemen. Namun Nicholls
(2002) berbeda pendapat dengan Fairholm, Nicholls berpendapat bahwa manajemen
itu lebih penting daripada kepemimpinan. Para ahli juga berbeda pendapat apakah
seseorang bisa menjadi pemimpin sekaligus manajer pada saat yang sama.
Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah yang mengaburkan perbedaan antara
kepemimpinan dengan manajemen (leadership and management).
Namun demikian, di sini perbedaan
dari kedua istilah tersebut akan dianalisa dengan menguraikan definisi dari
kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah sebuah proses di dalam memberi
inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan mempengaruhi anggota tersebut
untuk memiliki integritas di dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata
lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi organisasi dan selalu
memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991). Sedangkan tugas menejer
adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan status Quo. Menejer tidak
berinisiatif untuk menentukan visi organisasi. Singkatnya menejer lebih
memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan dengan se-efektif dan
se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa terjaga.
TEORI KEPEMIMPINAN
1. TEORI
KEPEMIMPINAN CONTINGENCY FIEDLER (Matching Leaders and Tasks)
Fiddler
mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai
tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada
tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan
fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku
kepemimpinan.
Pemimpin yang berorientasi pada
tugas akan efektif pada 2 set kondisi.
· Pada set
yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan
anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan
baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada
keadaan ini, grup sangat termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan
tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
· Pada set
yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya,
tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah.
Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih
tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Kepemimpinan tidak akan terjadi
dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan
pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi2 yg
spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda,
oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya
atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah
kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu
situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini
melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler,
yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.Asumsi sentral teori ini
adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh
kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan
dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara
lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para
pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas,
akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang
mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol
situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High
LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol
situasinya moderat.
2. MODEL KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON
(Normative Theory: Decision Making and Leader Effectiveness: Vroom &
Yetton, 1973)
Salah satu
tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan2
yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan
mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah
kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan ybs
melaksanakan tugas2 pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan
baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak
mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan,
bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya? Dengan kata lain seberapa jauh
para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan?
Sebagaimana
telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat
meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan
produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari
Vroom and Yetton.
Vroom dan
Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama:
metode taksonomi kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon
keputusan (decision tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang
teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
1. Autocratic
I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada
pemimpin.
2. Autocratic
II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh
anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian
informasi yang mereka berikan.
3. Consultative
I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui
ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu
membuat keputusan.
4. Consultative
II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat
diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group
II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok,
serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
Tidak ada
satupun dari metode ini yang dianggap terbaik untuk diterapkan pada berbagai
situasi. Para pemimpin harus mencocokkan metode kepemimpinan dengan situasi
yang ada. Ada 7 atribut dari situasi yang harus diambil dalam memutuskan metode
kepemimpinan seperti apa yang harus digunakan (Vroom & Yetton, 1973):
1. Adakah kualitas
lain yang lebih rasional daripada solusi yang telah ada?
2. Apakah saya
memiliki informasi dan keahlian yang cukup untuk membuat sebuah keputusan yang
berkualitas tinggi?
3. Apakah
masalahnya terstruktur?
4. Apakah
penerimaan subordinat saya terhadap keputusan yang saya buat akan mempengaruhi
efektivitas dalam implementasi keputusan saya?
5. Jika
saya harus membuat keputusan sendiri, apakah keputusan saya dapat diterima
secara beralasan oleh subordinat saya?
6. Apakah
subrodinat saya memiliki tujuan organisasi yang sama dengan saya saat
memecahkan masalah ini?
7. Apakah
konflik akan terjadi di kalangan subordinat saya ketika solusi ini terpilih?
Jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut terspesifikasi melalui metode kepemimpinan macam
apa yang paling tepat diterapkan pada situasi tertentu. Jawaban “ya” dan
“tidak” akan mengarah pada pohon keputusan (decision tree) yang membantu
pemimpin untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Aturan Yang Dirancang Untuk
Mendukung Dan Melindungi Hasil Penerimaanm Keputusan ; Vroom & Yetton,
1973:
- Penerimaan Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, menghilangkan gaya otokratis.
- Konflik Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, dan mereka memegang pendapat yang saling bertentangan atas sarana untuk mencapai beberapa tujuan, menghilangkan gaya otokratis.
- Keadilan Aturan: Jika kualitas keputusan penerimaan tidak penting tapi penting, gunakan gaya yang paling partisipatif.
- Penerimaan Aturan Prioritas: Jika penerimaan sangat penting dan tidak pasti hasil dari keputusan otokratis, dan jika súbor-dinates tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang sangat partisipatif.
Sekarang ini salah satu pendekatan
yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal
adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House,
yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan
pada inisiating structure dan consideration serta teori
pengharapan motivasi.
Menurut teori path-goal, suatu
perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh
mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku
pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh
kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran,
arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins,
2002).
Bawahan sering berharap pemimpin
membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap
para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan2 bernilai mereka.
Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang
menyatakan bahwa kegiatan2 pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan
mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan persepsi para
bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yg baik dan kinerja yg
baik tsb selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.
Model kepemimpinan path-goal berusaha
meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini,
pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut
sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi
persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan
untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory)
menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan
antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal
attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika
melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan
dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga
mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu
bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi. Model path-goal
menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
- Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
- Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi
tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan
gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut
(Koontz et al dalam Kajanto, 2003) :
1. Instrumental
(directive) àInstrumental (directive): suatu pendekatan yang berfokus pada
penyediaan bimbingan tertentu, menetapkan jadwal kerja dan aturan. Pemimpinan
memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan
jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas
tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan
pengawasan
2. SupportiveàMendukung:
sebuah gaya terfokus pada membangun hubungan baik dengan bawahan dan memuaskan
kebutuhan mereka. Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan
kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan
tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha
untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara
anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan
pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
- ParticipativeàPartisipatif: suatu pola di mana pemimpin berkonsultasi dengan bawahan, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan
- Achievement-orientedàPrestasi berorientasi: suatu pendekatan di mana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mencari perbaikan dalam kinerja. Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Terdapat dua faktor situasional yang
diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal
characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand
(Gibson, 2003).
1. Karakteristik
Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal
memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan
jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera
bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan
masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak
Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan
individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak
kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh
didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang
cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh
dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal
cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan
eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan
untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima
pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang
tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan
bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya
kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan
(Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan
akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin
yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan
tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi,
atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan
mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang
mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik
Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal
menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para
bawahan, jika:
1) Perilaku
tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku
tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa
pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk
mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri
dari tiga hal, yaitu:
1)
Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan
mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2)
Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan
lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur
wewenang formal yang tinggi
3)
Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat
kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Dengan menggunakan salah satu dari
empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang
diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi
para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka,
dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian
tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
MenurutPath-Goal Theory, dua
variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah
karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi
seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan
kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam
memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum
dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif
antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
B. Perencanaan, Penetapan manajemen
Dalam manajemen,
perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat
strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja
organisasi. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi
manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain—pengorganisasian,
pengarahan, dan pengontrolan—tak akan dapat berjalan.
Langkah-langkah dalam perencanaan,
dimana secara garis besarnya terdiri dari empat langkah dasar perencanaan yang
bisa diterapkan untuk semua tipe jenajang organisasi/ lembaga/ institusi.
Langkah-langkahnya antara lain
adalah :
Menetapkan sasaran : Kegiatan perencanaan dimulai
dengan menetapkan apasaja yang ingin dicapai oleh organisasi, tanpa dasar yang
jelas, sumber daya yang ada akan meluas menyebar dengan menetapkan prioritas
dan merinci serta mengkalkulasi sasaran secara jelas maka organisasi dapat
mengarahkan sega sumber daya yang lebih efektif dan efisien serta tepat guna
dan tepat sasaran. Tugas pokok dan fungsi harus sudah ada, jika sudah memiliki
tupoksi yang jelas, maka akan semakin memudahkan untu membuat sasaran yang bisa
dipakai untuk satu tahun kedepan maupun sasaran yang ingin dicapai dalam lima
tahuan kedepan.
Merumuskan Posisi Organisasi : Posisi organisasi saat ini diman
pimpinan harus tahu dengan posisi organisasinya saat ini. Sumber daya apa yang
dimiliki organisasinya saat ini. Barulah rencana dapat disusun setelah
diketahui posisi organisasinya, kekuatan-kekuatan yang akan melaksanakan dari
apa-apa yang telah direncanakan dengan mengetahui keuangan dan statistic
organisasi saat ini.
Mengidentifikasi berbagai faktor : Mengetahui factor-faktor
pendukung dan penghambat selanjutnya perlu diketahui factor-faktor baik dari
dalam maupun yang datang dari luar yang diperkirakan dapat membantu dan
mendukung serta yang menghambat organisasi untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan. Diakui mengetahui lebih mudah keadaan yang terjadi saat ini
dibandingkan meramal peluang yang akan didapat di masa yang akan datang. Dan
unsure utama dalam perencanaan yang paling sulit adalah melihat kedepan. Namun
biarbagaimanapun harus ditunjang dengan sikap optimis.
Menyusun langkah-langkah untuk
mencapai sasaran
: Langkah terakhir dalam menyusun perencanaan adalah mengembangkan berbagai
kemungkinan alternative atau langkah yang diambil untuk mencapai sasaran yang
telah ditetapkan, mengevaluasi alternative ini dengan memilih mana yang baik
dan mana yang dianggap cocok dan memuaskan
Manfaat
perencanaan bagi organisasi
1.Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan lingkungan
2.Membuat tujuan lebih khusus,terperinci dan mudah di pahami
3.Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti
4.Manajer memahami keseluruhan gambaran operasi lebih jelas
2.Membuat tujuan lebih khusus,terperinci dan mudah di pahami
3.Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti
4.Manajer memahami keseluruhan gambaran operasi lebih jelas
Jenis-jenis perencanaan dibagi menjadi dua, yaitu :
Perencanaan strategis,
adalah perencanaan jangka panjang yang dipusatkan
pada organisasi secara menyeluruh. Wirausahawan memandang organisasi sebagai
suatu unit total dan memutuskan apa yang hendak dilakukannya dalam jangka
panjang untuk mencapai tujuan organisasinya.
Perencanaan taktis
adalah
perencanaan jangka pendek yang menekankan pada operasi berbagai bagian
organisasi yang sedang berjalan. Wirausahawan menggunakan sistem rencana
ini untuk menguraikan apa yang harus dilakukan oleh berbagai bagian organisasi
untuk mencapai keberhasilan dalam kurun waktu satu tahun atau kurang dari satu
tahun.
DAFTAR PUSTAKA
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan
Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya
Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi
Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta :Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan
Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia