Sabtu, 04 Mei 2013

FENOMENA SOSIAL BERHUBUNGAN DENGAN PSIKOLOGI


FENOMENA-FENOMENA SOSIAL YANG BERHUBUNGAN PSIKOLOGI



VIVAnews - Kasus pemerkosaan yang kian marak terjadi di Jakarta saat ini, terutama yang melibatkan anak di bawah umur sebagai korban maupun pelaku, merupakan gambaran lemahnya fungsi kontrol sosial dan keluarga terhadap anak. Faktor pengasuhan, rendahnya fungsi kontrol orang tua, maupun gangguan psikologi dipercaya sebagai faktor yang dapat memicu tindakan penyimpangan seksual oleh anak-anak di bawah umur.
Pengalaman mendapatkan kekerasan seksual secara fisik maupun non fisik pada anak juga dianggap sebagai pemicu utama anak untuk berperilaku seksual yang belum sepantasnya dilakukan oleh golongan usianya. Sebagai tamsil, ketika anak memiliki pengalaman mendapatkan perilaku seks dari orang dewasa, seperti pernah disentuh alat kelaminnya, dipaksa melakukan tindakan oral, hingga mengalami sodomi, maka mereka akan mengalami trauma yang menyakitkan.
Kondisi traumatik ini akan memaksa mereka mengendapkan pengalaman pahit mereka ke alam bawah sadar, hingga mampu mempengaruhi sikap, cara pandang, hingga orientasi seksual anak di fase selanjutnya. Hipotesa tersebut diperkuat oleh temuan sebuah lembaga riset yang berkedudukan di Australia, Center Against Sexual Assault (CASA, 2012).
CASA menyimpulkan bahwa perilaku orang dewasa di sekitar anak, baik orang tua, pengasuh, atau siapa pun yang berada di lingkungan tempat anak bertumbuh kembang, akan berdampak signifikan dalam pembentukan karakter, sikap, dan perilaku anak.
Sikap para orang dewasa yang sering tidak menghargai keberadaan anak melalui kebiasaan melontarkan kata-kata kotor, mencela dengan kalimat yang bernuansa seksual, hingga mempertontonkan tindakan asusila baik sengaja maupun tidak sengaja pada anak, diyakini dapat mendorong agresifitas anak untuk melakukan tindakan kekerasan seksual.
Lenore Terr (1990)  lewat bukunya yang berjudul Too Scared to Cry menggambarkan bagaimana efek trauma pada anak dapat memicu perilaku amoral anak sebagai bentuk perlawanan akan tindakan tidak menyenangkan yang telah dialaminya.
Lenore Terr yang juga berlatar belakang sebagai psikiater handal dari Michigan University tersebut menjelaskan bahwa efek trauma itu muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan anak dalam melakukan perlawanan terhadap pihak yang telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan terhadapnya. Hal ini mengarah pada munculnya konflik dan pergulatan batin di dalam ranah kesadaran anak sebagai bentuk sikap tidak menerima perlakuan buruk yang dialaminya yang pada akhirnya mendorong anak untuk mengekspresikan apa yang dirasakan.
Efek trauma ini akan melekat kuat pada memori anak yang terus menerus muncul dalam ingatan anak secara tiba-tiba baik melalui stimulus penglihatan dan pendengaran, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga dengan adanya sedikit stimulasi pada traumanya, anak akan dengan mudah terpantik untuk melakukan tindakan agresif, kekerasan, termasuk perilaku amoral. Hal tersebut merupakan coping strategy anak dalam mengatasi konflik batin yang disebabkan oleh trauma.
Selain faktor trauma akan perilaku kekerasan seksual, terpaparnya anak terhadap sajian pornografi, baik yang bersumber dari video, majalah, maupun gambar bernuansa seksual juga menjadi penyebab utama munculnya perilaku seksual pada anak di bawah umur.
Sejak awal, Sigmund Freud (1921) mengingatkan kita melalui teori perkembanganpsychosexual anak. Freud mengatakan bahwa anak memiliki jenjang ketertarikan terhadap aspek seksualitas sejak usia tiga hingga enam tahun. Hal itu ditandai dengan ketertarikan mereka akan organ kelamin mereka sendiri.
Sehingga, hal yang lumrah ketika anak pada fase ini senang untuk mengeksplorasi alat kelamin mereka sendiri. Selanjutnya, pada umur enam tahun hingga pubertas, seorang anak akan memiliki keingintahuan lebih banyak terhadap lawan jenis. Ketika memasuki fase tersebut, seorang anak mulai menunjukkan keberanian untuk mengekspresikan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Pada fase ini, apabila anak sudah terpapar oleh faktor stimulus seperti media yang bernuansa seksual, maka seorang anak akan cenderung mengalami gejolak batin untuk mengekspresikan perilaku dan orientasi seksualnya. Jika pihak keluarga dan lingkungan sosial tidak memberikan pengawasan dan pengarahan yang tepat, maka seorang anak akan mendapatkan angin segar untuk mempraktekkan apa yang seolah diketahuinya dari tayangan-tayangan pornografi tersebut.
Fatalnya, perilaku seksual mereka seringkali dilakukan kepada anak yang pada umumnya berusia lebih muda dari mereka dengan maksud untuk menekan tingkat perlawanan saat aksi kekerasan seksual dilakukan. Dengan alasan inilah, media pornografi dinilai benar-benar berdampak sangat destruktif terhadap perkembangan mental dan perilaku anak.
Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan oleh seluruh stakeholders baik di keluarga, masyarakat, maupun aparat pemerintah, untuk menghindarkan anak dari media-media yang memuat stimulus seksual, untuk menghindari merebaknya tindak kekerasan seksual oleh dan pada anak di bawah umur.

Rabu, 01 Mei 2013

tugas sofskill kesehatan mental---- ke 2..

Pengertian Penyesuaian Diri


Apakah Penyesuaian diri itu? 
Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut  dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa/mental individu. Banyak individu  yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidak-mampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk melakukan penyesaian diri dengan kondisi yang penuh tekanan.

Konsep Penyesuaian Diri

Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam penyesuaian diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri, kondisi fisik, mental, dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan dimana kemungkinan akan berkembang proses penyesuaian yang baik atau yang salah. Penyesuaian yang sempurna dapat terjadi jika manusia / individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya, tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan semua fungsi-fungsi organisme / individu berjalan normal. Namun, penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat, dan manusia terus menerus menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi sehat. Penyesuaian diri adalah suatu proses. Kepribadian yang sehat ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Menurut Robbins (2001) stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila pengertian stress dikaitkan dengan penelitian ini maka stress itu sendiri adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya system kognitif, apresiasi stress menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri.Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme.
  
PENYEBAB STRESS
Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor, berikut beberapa faktor penyebab stressor.
1.      Faktor Biologis.
Faktor ini juga terbagi kedalam beberapa tipe :
·                     Gen. Keadaan individu pada masa konsepsi dipengaruhi oleh sikap dan perilaku Ibu. Bagaimana ibu berperilaku ketika sedang hamil, dan asupan gizinya apakah sudah terpenuhi atau malah defisiensi. Ketika seorang ibu stress, otomatis bayi yang dikandungnyapun akan ikut stress pula. Dan kebanyakan hal ini tidak disadari oleh si Ibu sehingga pada saat melahirkan Ibu malah menyalahkan proses persalinan ketika anaknya cacat fisik atau cacat mental.
·                     Penyakit. Karena mempunyai penyakit langka, sulit disembuhkan bahkan tak ada obatnya, seseorang bisa saja mengakhiri hidupnya pada tali gantungan atau meminum racun. Penyakit yang membuat seseorang merasa tak berguna dan tak mungkin sembuh bisa menjadi sebuah stressor.
·                     Tidur. Obat capek yang paling manjur adalah tidur. Ketika porsi tidur seseorang tidak terpenuhi, maka akan terjadi tekanan dalam diri orang tersebut ditandai dengan sensitivitas yang lebih tinggi dari biasa, pusing, sulit beradaftasi dengan lingkungan dan belum menyadari dimana berada. Hal tersebut akan menimbulkan stress baik pada tingkat ringan atau tinggi.
·                     Postur tubuh. Kebanyakan, stressor ini menyebabkan perempuan ingin melakukan apa saja untuk mendapatkan postur tubuh yang diinginkan. Jika tidak terpenuhi, maka akan terjadi konflik dan tegangan atau stress.
·                     Kelelahan. Faktor ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu faktor penyebab stress yang paling utama. Ketika seseorang merasa kelelahan, maka hal yang ingin segera dipenuhi adalah beristirahat. Ketika keinginannya tidak terpenuhi maka akan terjadi tegangan dan menimbulkan efek yang berbahaya.

2. Faktor Psikologis
·                     Frustasi. Sudah sangat jelas bahwasannya frustasi adalah penyebab seseorang mengalami stress. Ketika seseorang kecewa dengan apa yang dia dapatkan, atau gagal dalam meraih apa yang diinginkan maka banyak kemungkinan, orang itu akan mengalami  frustasi. Frustasi ditandai dengan menurunnya semangat hidup.
·                     Perasaan dan Emosi. Marah, mudah tersinggung, merasa tidak nyaman, merasa tidak aman, sedih, merasa bersalah dan lain-lain adalah contoh perasaan dan emosi yang dapat menimbulkan stress.
·                     Pengalaman Hidup. Perpisahan dengan orang yang dicintai adalah stressor dari psikologis yang paling banyak mempengaruhi tingkat kesadaran sesorang. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang yang tidak sesuai dengan yang diinginkan biasanya akan menimbulkan stress.
·                     Keputusan Perilaku. Salah mengambil keputusan membuat orang merasa takut dan tak mau lagi menjalani hidupnya. Salah pengambilan keputusan ini menjadi salah satu faktor dari segi psikologis yang dapat menyebabkan seseorang terkena stress.
·                     Respon Perlawanan. Ketika seseorang melawan hal yang terjadi namun dia tetap tidak merubah keadaan. Disaat itu, seseorang akan merasa down dan tidak berguna. Stress akan datang pada orang-orang seperti itu.
3. Faktor Sosial
·                     Keluarga. Faktor yang menyebabkan stress dari keluarga misalnya adalah terjadi kesalahan pada pola asuh yang diberikan, broken home, keadaan sosial ekonomi yang tidak sesuai harapan serta adanya tradisi juga filsafat keluarga yang dianggap tidak sejalan dengan filsafat individu.
·                     Lingkungan. Peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan longsor secara langsung akan membuat seseorang mempunyai tegangan tinggi dalam dirinya, apalagi orang tersebut menjadi korban bencana tersebut. Gaya hidup yang modern juga membuat orang mudah terkena stress.
·                     Dunia Kerja. Tugas yang menumpuk yang harus dikumpulkan besok, tugas yang jumlahnya sedikit namun tingkat kesulitannya tinggi, kecelakaan dunia kerja serta kemonotonan pekerjaan adalah stressor yang berasal dari dunia kerja yang mampu membuat orang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

 Jenis Stress
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1.      Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2.      Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

Coping dan stress
Umumnya coping strategi  dapat  didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya dan coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun ingat coping bukanlah suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi yang menekan, karena tidak semua situasi tertekan dapat benar-benar dikuasai.
Kesimpulannya, strategi coping merupakan suatu upaya indivdu untuk menanggulangi situasi stres yang menekan akibat masalah yang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kogntif maupun prilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya sendiri,
Coping yang efektif umtuk dilaksanakan  adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (lazarus dan folkman).
Menurut lazarus dan folkman,  ada 2 jenis strategi coping, yaitu:
1. problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stress, dan dipaparkan para ahli bahwa aspek-aspek yang digunakan individu di bagi menjadi lima, sebagai berikut:
a.       Distancing , ini adalah suatu bentuk coping yang sering kita temui, yaitu usaha untuk menghindar dari permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positf, dan seperti menganggap remeh/lelucon suatu masalah .
b.      Planful Problem Solving, atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.
c.        Positive Reapraisal, yaitu usah untuk mencar makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri, dan stategi ini terkadang melibatkan hal-hal religi.
d.      Self Control, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.
e.       Escape, usaha untuk menghilangkan stress dengan melarikan diri dari masalah, dan beralih pada hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak dll
2.      Emotion-Focused Coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Berikut adalah aspek-aspeknya:
a.      Self Control, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara mengendalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.
b.      Seeking Social Support (For Emotional Reason),adalah suatu cara yang dilakukan individu dalam menghadap masalahnya dengan cara mencari dukungan sosial pada keluarga atau lingkungan sekitar, bisa berupa simpati dan perhatian.
c.       Positive Reinterpretation, respon dari suatu individu  dengan cara merubah dan mengembangkan dalam kepribadiannya, atau mencoba mengambil pandangan positif dari sebuah masalah (hikmah),
d.      Acceptance, berserah diri, individu menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah, karena dia sudah beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk memecahkan masalahnya.
e.       Denial (avoidance), pengingkaran, suatu cara individu dengan berusaha menyanggah dan mengingkari dan melupakan masalah-masalah yang ada pada dirinya.
Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya.





Bersumber :